Kamis, 05 Juli 2012

bissu pangkep



Paradoks Bissu Bugis

”Suatu ketika pemerintah akan membutuhkan Bissu, tetapi sudah tidak ada lagi… kelak mereka akan menyesal ….”



Demikian ucapan seorang Bissu Soppeng H. Sakke (95 tahun), tepat sepuluh jam sebelum meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 12 September 2003. Ketika berucap, dia masih tegar dan antusias untuk bersama-sama melatih calon-calon Bissu baru. Sakke adalah kandidat Puang Matowa Soppeng. Apa yang dilontarkannya di atas, kenyataannya memang demikian. Komunitas Bissu hanya dilirik oleh pemerintah bila mereka merasa membutuhkannya saja, setelah itu mereka masa bodoh.

Satu per satu komunitas ini berkurang. Tanggal 15 Oktober 2002 lalu, Wahide, seorang pemusik Bissu Segeri juga wafat. Menyusul Bissu Puang Huseng seorang Bissu senior di pinggir Sungai Pallime di kabupetan Bone, Sulawesi Selatan (Februari 2003); lalu Bissu Made seorang Bissu senior Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, yang meninggal dalam kesendiriannya (19 Agustus 2003). Peristiwa kematian memang tidak harus selalu diratapi, tetapi kematian generasi terakhir pewaris sebuah tradisi khas memang sangat memilukan.

Kini komunitas yang makin berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan tiada. Dikatakan ada karena sesekali komunitasnya masih menghendaki dan memandang perlu untuk mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian dengan upacara. Dapat menjadi tiada ketika masyarakat yang semula menopang keberadaannya kemudian meninggalkannya karena berbagai sebab.

Berbagai peristiwa yang berusaha melenyapkan eksistensi mereka telah dialami oleh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan. Mereka telah melewati jaman di mana mereka harus diburu bahkan dibunuh untuk dilenyapkan. Saat itu, nyawa seekor anjing lebih berharga dibanding nyawa mereka. Masyarakat Bugis sebagai pemilik tradisi ini, kini sebagian besar bahkan menyudutkan komunitas Bissu ini. Berbagai tekanan menjadikan mereka sebagai suatu komunitas yang terasing, walau beberapa di antaranya masih dapat tegar bertahan dengan berkompromi dengan perubahan. Komunitas Bissu bercerai berai, jumlah dan kualitasnya semakin menyusut dari hari ke hari. Melihat pola regenerasi dan dukungan mayoritas masyarakat Bugis masa kini, maka dapat dipastikan bahwa Bissu-bissu yang tersisa sekarang adalah generasi terakhir pewaris tradisi Bugis klasik ini.

Dengan memikirkan eksistensi mereka dan keberlanjutan tradisi ini sudah di ujung tanduk, maka LSM Latar Nusa berupaya memperkuat komunitas Bissu yang merupakan benang merah kesinambungan tradisi klasik Bugis ini. Bissu sebagai anggota masyarakat perlu mendapat penghargaan seperti anggota masyarakat yang lain dan tidak dapat diremehkan. Profesi sebagai Bissu perlu dibedakan dengan profesi calabai atau Wadam (Wanita Adam). Reinterpretasi dan reposisi harus segera dilakukan. Sekarang, mapping, penelitian, dialog, kampanye, pemugaran rumah upacara, pelaksanaan upacara, pelantikan lembaga Bissu, pelatihan dan magang telah dan sementara diupayakan. Komunitas-komunitas Bissu berhasil dibangun kembali lembaganya, pimpinannya telah dilantik oleh pemangku adat dan pemerintah. Komunitas-komunitas Bissu mulai memiliki kembali rumah upacara yang baru, upcara mulai berjalan rutin, dan harkat mereka mulai dihargai kembali di tengah masyarakat. Dampak dari kampanye ini adalah mulai diliriknya kembali komunitas ini oleh berbagai pihak. Ada yang melihatnya sebagai potensi “souvenir” yang dapat dijual, ada yang mulai memanfaatkannya sebagai lahan eksplorasi segar untuk kepentingan mereka… tanpa secara bijak mempertimbangkan efek perbuatan mereka pada komunitas Bissu secara keseluruhan. Ritualitas mereka mulai digeser oleh kekuasaan dan kekuatan kapital.

Makalah ini mencoba melukiskan perjalanan panjang komunitas Bissu yang penuh paradoks: mengejar identitas tetapi sekaligus berangsur kehilangan identitas. Digambarkan siapa dan mengapa mereka, bagaimana nasib mereka kini, dan apa kiat mereka menyiasati lingkungan, agama, Negara dan para pendukung yang terus berubah.

II

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Ketua para Bissu adalah seorang yang diberi gelar Puang Matowa atau Puang Towa. Dia adalah figur feminim dengan wajah yang licin seperti seorang kasim. Para Bissu lain adalah lelaki yang keadaan jasmaniahnya abnormal. Bissu dan tradisi transvestites (lelaki yang berperan sebagai perempuan) di tana Bugis sudah ada sejak Ratusan tahun yang lalu. Naskah La Galigo banyak mengungkap tentang keberadaan Bissu dalam budaya Bugis, yang konon sebagai pendamping dan pelengkap kedatangan para tokoh utama dari langit atau dari pertala bumi. Salah satu kisah melukiskan ketika tengah hari itu cuaca gelap gulita, angin topan dan badai turun. Puang Matowa Bissu dari Lae-Lae, We Salareng dan We Apanglangi, kepala Bissu dari Ware dan Luwu turun ke bawah bersama perlengkapannya, topan dan badai pun reda.[3]

Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat. Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bissu memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara sesama mereka. Bahasa tersebut disebut bahasa suci, basa Torilangi, bahasa Bissu atau bahasa dewata. Para Bissu beranggapan bahwa bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui dewata. Kata-kata dalam bahasa dewata ini telah banyak dimuat dalam naskah La Galigo.

Bissu merupakan penasehat Raja beserta seluruh keluarganya, mengabdi dan menjaga Arajang.[4] Mustika-mustika tuah ini memiliki sifat keluarbiasaan karena dua sebab, yakni karena cara menemukannya dan bentuknya yang tidak lazim. Benda pusaka ini dipelihara dalam tempat khusus di ruang istana dan tempat persembahan. Kadang mereka mengadakan upacara khusus untuk benda pusaka itu. Pusaka-pusaka ini diberi nama dan diperlakukan melebihi dari sekedar lambang. Roh-roh nenek moyang diharapkan bersarang dalam benda-benda pusaka tersebut atau turun menjelma kepada para pemiliknya saat mereka memerlukannya.
para bissu sedang mencuci arajang

para bissu sedang mencuci arajang

Bissu umumnya adalah Wadam atau wanita dan kalangan putri bangsawan tinggi. Kata Bissu sendiri berasal kata bessi (Bugis) yang berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), tidak ada tetek, dan tidak haid.[5] Matthes menyebut Bissu ini sebagai priesters en priesteresse. Matthes mengambarkan Bissu sebagai pendeta-pendeta pria-wanita (calabai) Bugis, dinyatakan bahwa sumbernya datang dari Raja Luwu, yaitu Batara Guru anak sulung dari Raja Agung di Kayangan yang turun ke bumi (Tumanurung). Dia turun dan keluar dari dalam sebatang bambu dan terasa asing dari penduduk. Kekurangan ini ditutupi dengan bersatunya We Nyili Timo, saudara perempuan dewa mereka yang bangkit dari lautan. Dengan gadis-gadis cantik yang berdiam di Kayangan dan bumi yang fana, barulah kehidupan yang pertama di mulai.

Hubungan Batara Guru dengan We Nyili Timo termasuk dewa-dewa dan roh-roh lain, dapat dilakukan melalui para Bissu. Misalnya dewata yang memberikan dan menghibur serta memberi kesuburan bumi, masyarakat yang bersungguh-sungguh dapat memperolehnya melalui perantaraan Bissu. Para Bissu dapat diberdayakan sebagai suatu penghubung ke dewata dengan persembahan masyarakat, khususnya pada upacara-upacara keagamaan dari suatu kelompok masyarakat dengan dewa-dewa nenek moyang yang diadakan dengan sangat meriah.[6] Pada upacara semacam itu, para Bissu tergolong melebur ke dalam upacara tersebut untuk menyampaikan doa-doa mereka. Merekalah sebagai tempat penegak pertama antara roh nenek moyang dengan keturunan mereka. Sebelum Islam, fungsi upacara mereka mendapat kedudukan penting dalam masyarakat.[7] Setelah Agama Islam dianut oleh orang Bugis, peranan para Bissu digantikan oleh Puang Kali (Kadhi). Sebagian upacara-upacara Bissu juga telah diambil alih pelaksanaannya oleh Petta Kali.

III

Gerombolan Kahar Muzakar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.[8]

Penderitaan para sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti Arajang dan pelaksanaan upacara mappalili[9] terjadi di Segeri, Kabupaten Pangkep. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian Arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq (syirik), dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap Arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu[10] maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam. Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara mappalili.[11] Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak dibunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empat puluh orang (Bissu PattappuloE)[12] dalam sebuah wilayah adat.

Memang banyak faktor penyebab sehingga upacara-upacara kaum Bissu ini mengalami pergeseran dan penyesuaian dengan waktu dan lingkungannya. Penyebab-penyebab tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal komunitas Bissu itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang utama adalah perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Peranan raja yang berwibawa, kharismatik dan berpengetahuan luas tentang adat-istiadat sekarang digantikan oleh peranan seorang camat yang masa jabatannya relatif terbatas di suatu daerah. Demikian pula akibat memudarnya peranan lembaga-lembaga adat, sangat terasa pula pada komunitas Bissu. Pada masa pemerintahan kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu sepetak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan diserahkan pengelolahannya oleh raja kepada Puang Matowa Bissu dan kawan-kawan. Sawah yang merupakan tempat upacara palili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun.

Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik. Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Undang-undang tertulis banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang pandai dan cerdik berpikir untuk kepentingan material lahiriahnya. Terpuruklah mereka, karena seluruh tanah adat ini tidak memiliki sertifikat. Sejak Puang Matowa, pimpinan komunitas Bissu meninggal, tanah adat ini sekarang dikuasai oleh pemerintah sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 tentang Hak-hak Atas Tanah. Kini tidak ada lagi sumber dana tetap untuk biaya upacara dan biaya hidup para Bissu yang tinggal di Bola Arajang.[13] Kini mereka dan nasib upacara tersebut hampir seluruhnya tergantung kepada swadaya masyarakat pendukungnya yang makin menyusut dan bantuan pemerintah setempat.

Ketika para Bissu dan penganut fanatik upacara tradisional mappalili mengusulkan upacara tersebut dilaksanakan lagi, maka aparat pemerintah desa di kecamatan campur tangan. Terjadi kompromi tentang lama masa upacara dan beberapa tata upacara, tentunya dengan pertimbangan alasan keamanan. Mereka membuat aturan tersebut agar setiap pelaksanaan upacara mappalili berjalan dengan lancar. Walaupun terkadang terjadi kekacauan-kekacauan kecil pada penonton dan masyarakat atau kecelakaan-kecelakaan pada Bissu, namun semuanya dapat diatasi sesuai dengan aturan yang mereka terapkan saat itu.
para bissu sedang melakulan ritual mappalili

para bissu sedang melakulan ritual mappalili

Konsekwensi dari campur tangan aparat kecamatan dan desa tersebut adalah diambilnya beberapa hak Bissu menjadi wewenang pemerintah. Penentuan hari upacara yang dahulunya ditentukan atas ramalan Puang Matowa, kini ditentukan oleh camat atau aparat kantor kecamatan. Kadang rapat penentuan pelaksanaan upacara tersebut harus ditunda karena kesibukan camat atau ada tamu dari kabupaten, provinsi atau dari pusat. Tata laksana upacara mappalili yang berjalan sekarang juga diambil alih pengaturannya oleh pemerintah setempat. Di Segeri misalnya, jika dahulu ada upacara palili berarti ada pula Bissu dan mabbissu.[14] Sekarang, yang ada hanya upacara mappalili saja, tanpa mabbissu. Jika dahulu arak-arakan palili diiringi dua belas bendera, sekarang hanya tiga bendera saja.
para bissu sedang melaksanakan ritual mappagiri

Para Bissu sedang memeragagakan Tari Mabbissu atau Maggiri dengan menusuk-nusuk anggota badan mereka dengan keris

Seperti terjadi di mana-mana di nusantara ini, lambat laun tata upacara ini diarahkan untuk kepentingan penggalangan massa partai tertentu dan untuk memajukan pembangunan. Masuklah beberapa acara baru dalam tata upacara tradisional yang telah dipertahankan kelestariannya oleh orang-orang Bugis selama beberapa dekade di desa tersebut. Demi untuk penyesuaian dengan dinamika pembangunan, kemudian tata laksana upacara mappalili yang disusun oleh pemerintah Orde Baru lebih diarahkan kepada menggalang wisatawan. Upacara palili diharapkan dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Upacara dan benda-benda pusaka yang dulunya sakral, kini menjadi seni kemasan untuk wisatawan dan menjadi ajang hiburan saja. Tidak sedikit anak muda mempergunakan kesempatan upacara sakral mappalili ini sebagai ajang main-main. Misalnya pada saat ucara siram-siraman usai palili, ada sebagian orang yang sengaja menyiram peserta upacara dengan air yang bercampur dengan air comberan. Upacara itu tidak lagi dianggap sakral bagi mereka. Padahal sebagaimana yang dipercaya masyarakat Segeri, bahwa upacara mappalili sebagai salah satu upacara sakral mempunyai beberapa pantangan yang harus ditaati oleh warga masyarakat. Kini mereka tidak hanya meladeni hajatan masyarakat yang sesekali mengundang mereka, tetapi mereka juga menari untuk suguhan wisatawan yang berkunjung ke Segeri atau di Pare-pare.[15] Bahkan Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep telah menurunkan fungsi dan derajat komunitas Bissu Segeri ini menjadi sebuah sanggar tari bernama Sanggar La Pawowoi Segeri.

Faktor eksternal lainnya adalah penyebaran ajaran Islam yang menganggap seluruh kegiatan Bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni. Penyebaran agama Islam membawa arti dan pengaruh yang sangat cepat bagi perkembangan yang menyimpang dari kebiasaan lama Bissu. Tradisi Bissu pelan-pelan memudar, berkat kokohnya peningkatan dari cita-cita modern dan juga pertambahan keinsyafan dalam masalah agama Islam secara mendasar dalam masyarakat.

Pada masa lampau, pelaksanaan upacara ritual palili yang dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis di Segeri dilaksanakan sangat meriah dan hikmat. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali sebagai tanda memulai mengerjakan sawah untuk bertanam padi. Akan tetapi sejak tahun 1966, upacara ini sudah disederhanakan. Kalau tadinya upacara berlangsung selama 40 hari 40 malam, kemudian berubah 7 hari 7 malam, sekarang hanya satu malam saja. Mengomentari perubahan ini, Haji Syamsuddin, Lurah Bontomatene Segeri hanya mengatakan:

“… upacara palili tetap dilaksanakan, akan tetapi tidak semeriah dulu ketika Puang Towa masih tinggal di Bola Arajang. Hal ini disebabkan karena dianutnya paham baru dalam masyarakat Segeri Mandalle, yaitu semakin tingginya keimanan mereka terhadap Tuhan YME.”[16]

Walaupun demikian, sinkritisme telah terjadi di kalangan pendukung ritual Bissu. Menurut Imam Kampung Panaikang:

“… sekarang ini tidak ada lagi pengelompokan dalam masyarakat Segeri. Masyarakat sekarang sudah menganut satu ajaran atau aliran, yaitu Ahlul Sunnah wal Jamaah. Adapun golongan masyarakat ini tidak menentang diadakannya upacara mappalili, tetapi mereka tidak ikut secara langsung mendukung pelaksanaan upacara. Sebab menurut ajaran mereka sebelum memulai sesuatu terlebih dahulu harus membaca doa-doa yang diiringi sesajen untuk dibaca.”[17]

Sebuah upacara pelepas nazar yang menarik terjadi di Desa Kanaungan Kecamatan Labbakkang pada tanggal 1 hingga 3 September 1999. Para Bissu ini datang dari desa lain dan dihargai oleh kaum tua. Khusus bagi generasi muda, upacara tersebut hanyalah sebagai suatu jenis hiburan yang aneh belaka. Upacara yang menelan biaya tidak kurang dari ima juta rupiah tersebut, dilaksanakan oleh sepasang suami-istri, yaitu Haji Nawir dan istrinya Hajja Moga. Upacara tersebut baru dilakukan kembali oleh keluarga tersebut setelah terhenti selama 35 tahun lamanya (terakhir tahun 1964).[18] Yang menarik selama tiga hari upacara ini adalah para pesertanya yang terdiri ibu-ibu dan bapak-bapak haji, keluarga besar Haji Nawir dan Hajja Moga. Semua mengenakan pakaian haji. Bukan itu saja, pada saat-saat tertentu (misalnya pada matangesso dan malabbekesso) ternyata para Bissu juga membungkus kepalanya dengan sehelai kain putih mirip para haji tersebut. Bahkan Bissu Lolo Saidi yang bertindak sebagai Pangulu (pimpinan) mengenakan jubah serbah putih.[19] Pada hari terakhir dilakukan persembahan turun dan naik. Persembahan turun upacara yang jaraknya berjauhan satu dengan lainnya.[20] Pada tempat-tempat tersebut, seorang pembaca doa dari desa bersangktan ikut membacakan doanya. Malam harinya dilakukan persembahan ke atas yang sebelumnya dilakukan oleh seorang imam mesjid yang bergelar Angre Gurutta (AG) atau guru besar.

IV

Boleh dikatakan, Bissu yang masih tersisa sekarang ini adalah generasi terakhir yang mewarisi tradisi Bugis klasik. Kini komunitas Bissu yang makin berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan tiada. Dikatakan ada karena sesekali komunitasnya masih menghendaki dan memandang perlu untuk mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian dengan upacara. Dapat menjadi tiada ketika masyarakat yang semula menopang keberadaannya kemudian meninggalkannya karena berbagai sebab. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa Bissu saat ini hanya sebagai perhiasan saja, dalam arti keberadaannya kini masih dirasakan kehadirannya, namun dianggap tidak ada lagi. Hidup tidak, mati pun tak rela.

Berbagai faktor eksternal dan faktror internal yang menjadikannya demikian. Faktor eksternal antara lain adalah pergseran pemahaman tentang keagamaan dan perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan ke negara kesatuan yang bermuara pada melemahnya lembaga adat dan hak tanah adat. Sementara faktor internal komunitas Bissu adalah bagaimana mereka harus beradaptasi dengan jaman yang penuh perubahan, dan regenerasi kepemimpinan serta keanggotaan baru.

Demikian perjalanan panjang komunitas Bissu di Segeri yang penuh paradoks: mengejar identitas tetapi sekaligus berangsur kehilangan identitas. Moga-moga tulisan ini akan memberikan dampak nyata terhadap keberlanjutan tradisi yang telah diambang kepunahan. Langkah maju bagi penguatan komunitas Bissu yang termarginalkan oleh masyarakat Bugis pemilik tradisi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar