Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, ada sekitar enam juta jiwa populasi orang Bugis di Indonesia. Kini orang-orang Bugis tidak hanya bermukim di Sulawesi Selatan saja namun telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia, bahkan banyak diantara mereka yang merantau ke mancanegara.
SEJARAH
Awal Mula
Suku Bugis tergolong kedalam suku-suku Melayu Deutero yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan.
Peta negara Cina yang memperlihatkan letak propinsi Yunan
Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama Kerajaan Cina yang terdapat di Pammana (kabupaten Wajo saat ini, yang dimaksud Cina disini adalah nama sebuah daerah di Sulsel, bukan negara Cina) yaitu La Sattumpugi. Rakyat La Sattumpugi menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai. Ia bersaudara dengan Batara Lattu yang merupakan ayah dari Sawerigading. Sawerigading menikah dengan We Cudai dan memiliki beberapa anak. Salah satu anak mereka adalah La Galigo, seorang pengarang sastra terbesar di dunia yang menghasilkan karya berisi sekitar 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) merupakan kisah tradisi masyarakat Bugis yang tertuang didalam karya sastra I La Galigo. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwu, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain yang ada di Sulawesi, seperti Buton.
PERKEMBANGAN Seiring waktu, komunitas Bugis berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Mereka berhasil mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik yang ada adalah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Proses perkawinan antar kerajaan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama-sama dengan kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (yang kelak menjadi bagian dari Soppeng) dan Siang (sebuah daerah di Pangkajene Kepulauan).
Saat ini suku Bugis di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, dan Barru. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, dan Pangkajene Kepulauan. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
MASA KERAJAAN
Peta Sulawesi Selatan
Kerajaan Bone
Pada suatu waktu terjadi kekacauan di Bone selama tujuh generasi, kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah Bone melantik si Manurungnge ri Matajang menjadi raja mereka kemudian memberinya gelar Arumpone. Ketujuh raja tersebut kemudian menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah Ade’ Pitue. Manurungnge ri Matajang juga dikenal dengan nama Mata Silompoe.
Ade’ Pitue sendiri terdiri dari MatoaTa, Matoa Tibojong, Matoa Tanete Riattang, Matoa Tanete Riawang, Matoa Macege, Matoa Ponceng. Istilah Matoa kemudian berubah menjadi Arung.
Setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yang bernama La Ummasa’ Petta Panre Bessie, kemudian dilanjutkan oleh kemenakan La Ummasa’ yaitu anak dari adiknya yang menikahi raja Palakka dan kemudian melahirkan La Saliyu Kerrempelua. Pada masa kepemimpinan Arumpone yang ketiga ini, Bone aktif secara besar-besaran memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat
Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune yang datang dari berbagai arah, yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng. Komune tersebut dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan supranatural bergelar Puangnge Ri Lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli dan dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural.
Beberapa lama setelah itu, datanglah seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) bernama Lapaukke yang kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Namun setelah lima generasi, kerajaan ini runtuh. Kerajaan Cinnotabi pernah dipimpin oleh: La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. Setelah itu, kedua putra Arung Cinnotabi IV menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V, mereka adalah La Tenribali dan La Tenritippe.
Setelah runtuhnya kerajaan Cinnotabi dimasa kepemimpinan Arung Cinnotabi V, sisa-sisa pejabat kerajaan dan rakyatnya bersepakat untuk memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. Raja baru tersebut bergelar bergelar Batara Wajo. Secara berturut-turut kerajaan Wajo dipimpin oleh La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung Cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III.
Pada masa kepemimpinan La Pateddungi Batara Wajo III, krisis terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan Batara Wajo III terbunuh. Kekosongan kekuasaan dimasa itu menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. Setelah lahirnya perjanjian tersebut, gelar raja Wajo berubah dariBatara Wajo menjadi Arung Matowa Wajo. Hal ini terus berlanjut sampai pada berakhirnya masa kerajaan yaitu disaat Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Kerajaan Gowa
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Gowa kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Gowa.
Istana Raja Gowa yang dinamakan “Balla Lompoa”
KONFLIK ANTAR KERAJAAN
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan kerajaan Soppeng serta kerajaan Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya hingga bertemu dengan wilayah kerajaan Gowa di Bulukumba. Sementara di wilayah utara, kerajaan Bone bertemu dengan kerajaan Luwu di Sungai Walennae. Disaat yang sama, secara perlahan kerajaan Wajo juga melakukan perluasan wilayah. Demikian pula dengan kerajaan Soppeng yang juga melakukan ekspansi ke arah barat sampai ke daerah Barru.
Peperangan antara kerajaan Luwu dan Bone dimenangkan oleh kerajaan Bone. Untuk mempertahankan posisinya, kerajaan Luwu membangun aliansi dengan kerajaan Wajo kemudian menyerang beberapa daerah kerajaan Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai oleh kerajaan Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Kerajaan Wajo kemudian bergesekan dengan kerajaan Bone.
Invasi kerajaan Gowa kemudian merebut beberapa daerah kerajaan Bone serta menaklukkan kerajaan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “Tellumpoccoe”.
PENYEBARAN ISLAM
Pada awal abad ke-17, penyiar agama Islam dari Minangkabau tiba di Sulawesi Selatan atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) yang menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama-sama dengan kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (yang kelak menjadi bagian dari Soppeng) dan Siang (sebuah daerah di Pangkajene Kepulauan).
Saat ini suku Bugis di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, dan Barru. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, dan Pangkajene Kepulauan. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
MASA KERAJAAN
Peta Sulawesi Selatan
Kerajaan Bone
Pada suatu waktu terjadi kekacauan di Bone selama tujuh generasi, kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah Bone melantik si Manurungnge ri Matajang menjadi raja mereka kemudian memberinya gelar Arumpone. Ketujuh raja tersebut kemudian menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah Ade’ Pitue. Manurungnge ri Matajang juga dikenal dengan nama Mata Silompoe.
Ade’ Pitue sendiri terdiri dari MatoaTa, Matoa Tibojong, Matoa Tanete Riattang, Matoa Tanete Riawang, Matoa Macege, Matoa Ponceng. Istilah Matoa kemudian berubah menjadi Arung.
Setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yang bernama La Ummasa’ Petta Panre Bessie, kemudian dilanjutkan oleh kemenakan La Ummasa’ yaitu anak dari adiknya yang menikahi raja Palakka dan kemudian melahirkan La Saliyu Kerrempelua. Pada masa kepemimpinan Arumpone yang ketiga ini, Bone aktif secara besar-besaran memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat
Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune yang datang dari berbagai arah, yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng. Komune tersebut dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan supranatural bergelar Puangnge Ri Lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli dan dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural.
Beberapa lama setelah itu, datanglah seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) bernama Lapaukke yang kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Namun setelah lima generasi, kerajaan ini runtuh. Kerajaan Cinnotabi pernah dipimpin oleh: La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. Setelah itu, kedua putra Arung Cinnotabi IV menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V, mereka adalah La Tenribali dan La Tenritippe.
Setelah runtuhnya kerajaan Cinnotabi dimasa kepemimpinan Arung Cinnotabi V, sisa-sisa pejabat kerajaan dan rakyatnya bersepakat untuk memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. Raja baru tersebut bergelar bergelar Batara Wajo. Secara berturut-turut kerajaan Wajo dipimpin oleh La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung Cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III.
Pada masa kepemimpinan La Pateddungi Batara Wajo III, krisis terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan Batara Wajo III terbunuh. Kekosongan kekuasaan dimasa itu menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. Setelah lahirnya perjanjian tersebut, gelar raja Wajo berubah dariBatara Wajo menjadi Arung Matowa Wajo. Hal ini terus berlanjut sampai pada berakhirnya masa kerajaan yaitu disaat Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Kerajaan Gowa
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Gowa kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Gowa.
Istana Raja Gowa yang dinamakan “Balla Lompoa”
KONFLIK ANTAR KERAJAAN
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan kerajaan Soppeng serta kerajaan Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya hingga bertemu dengan wilayah kerajaan Gowa di Bulukumba. Sementara di wilayah utara, kerajaan Bone bertemu dengan kerajaan Luwu di Sungai Walennae. Disaat yang sama, secara perlahan kerajaan Wajo juga melakukan perluasan wilayah. Demikian pula dengan kerajaan Soppeng yang juga melakukan ekspansi ke arah barat sampai ke daerah Barru.
Peperangan antara kerajaan Luwu dan Bone dimenangkan oleh kerajaan Bone. Untuk mempertahankan posisinya, kerajaan Luwu membangun aliansi dengan kerajaan Wajo kemudian menyerang beberapa daerah kerajaan Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai oleh kerajaan Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Kerajaan Wajo kemudian bergesekan dengan kerajaan Bone.
Invasi kerajaan Gowa kemudian merebut beberapa daerah kerajaan Bone serta menaklukkan kerajaan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “Tellumpoccoe”.
PENYEBARAN ISLAM
Pada awal abad ke-17, penyiar agama Islam dari Minangkabau tiba di Sulawesi Selatan atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) yang menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
KOLONIALISME BELANDA
Pada pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara kerajaan Gowa dengan VOC yang menyebabkan terjadinya beberapa kali pertempuran.
Akibat penahanan Arumpone di kerajaan Gowa, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka (seorang Bugis asal Bone) melakukan perlawanan terhadap Gowa. Arung Palakka didukung oleh Turatea, yaitu sebuah kerajaaan kecil Makassar yang berkhianat terhadap kerajaan Gowa. Sementara disisi kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyak korban dipihak Gowa dan sekutunya. Kekalahan Gowa mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan tersebut.
La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka
Sultan Hasanuddin (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape)
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah pertalian tersebut, tidak ada lagi perang yang besar sampai pada tahun 1905-1906.
Setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, masyarakat Bugis dan Makassar takluk ditangan Belanda.
Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang yang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
MASA KEMERDEKAAN
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur kedalam wadah NKRI.
Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis yang meninggalkan kampung halamannya.
Pada pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara kerajaan Gowa dengan VOC yang menyebabkan terjadinya beberapa kali pertempuran.
Akibat penahanan Arumpone di kerajaan Gowa, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka (seorang Bugis asal Bone) melakukan perlawanan terhadap Gowa. Arung Palakka didukung oleh Turatea, yaitu sebuah kerajaaan kecil Makassar yang berkhianat terhadap kerajaan Gowa. Sementara disisi kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyak korban dipihak Gowa dan sekutunya. Kekalahan Gowa mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan tersebut.
La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka
Sultan Hasanuddin (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape)
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah pertalian tersebut, tidak ada lagi perang yang besar sampai pada tahun 1905-1906.
Setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, masyarakat Bugis dan Makassar takluk ditangan Belanda.
Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang yang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
MASA KEMERDEKAAN
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur kedalam wadah NKRI.
Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis yang meninggalkan kampung halamannya.
Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi, benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda Bugis dan Makassar adalah generasi yang lebih banyak mengkonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka.
Seiring dengan arus reformasi, muncullah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi Barat dan kabupaten Luwu terpecah menjadi tiga daerah tingkat dua. Selain itu banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno
MATA PENCAHARIAN
Masyarakat Bugis tersebar di daerah pesisir dan dataran rendah yang subur, oleh sebab itu kebanyakan dari mereka hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati oleh orang Bugis adalah berdagang, menjadi birokrat di pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
PEROMPAK
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia.
Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka (seorang Bugis asal Bone) kepada pemerintah Belanda, menyebabkan masyarakat Bugis memperoleh kebebasan bergerak yang lebih besar. Namun kebebasan ini disalahgunakan oleh sebagian orang Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam peperangan internal mereka. Perompak-perompak ini juga menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Perahu tradisional Bugis-Makassar “Phinisi”
SERDADU BAYARAN
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan, orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran.
Sebelum terjadinya konflik terbuka, orang-orang Bugis adalah salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.
Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
BUGIS PERANTAUAN
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas dan wilayah perantauan mereka pun hingga ke Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah area pemukiman yang bernama Maccassar, sebagai tanda bagi penduduk setempat untuk mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
PENYEBAB MERANTAU
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik antara sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis yang bermigrasi, terutama bagi mereka yang bermukim di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
BUGIS DI KALIMANTAN TIMUR
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya, tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Diantara mereka ada yang hijrah ke pulau-pulau lain seperti ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian dengan Raja Kutai, rombongan tersebut diberikan lokasi disekitar kampung Melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Namun sesuai perjanjian, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Semua rombongan Lamohang Daeng Mangkona memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili Seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah tersebut berarus putar (berulak) dan terdapat banyak kotoran sungai.
BUGIS DI SUMATERA DAN SEMENANJUNG MALAYSIA
Setelah VOC menguasai kerajaan Gowa dipertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang sebelumnya menduduki jabatan di kerajaan Gowa, bersama dengan orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disana mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Makassar.
Seiring dengan arus reformasi, muncullah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi Barat dan kabupaten Luwu terpecah menjadi tiga daerah tingkat dua. Selain itu banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno
MATA PENCAHARIAN
Masyarakat Bugis tersebar di daerah pesisir dan dataran rendah yang subur, oleh sebab itu kebanyakan dari mereka hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati oleh orang Bugis adalah berdagang, menjadi birokrat di pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
PEROMPAK
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia.
Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka (seorang Bugis asal Bone) kepada pemerintah Belanda, menyebabkan masyarakat Bugis memperoleh kebebasan bergerak yang lebih besar. Namun kebebasan ini disalahgunakan oleh sebagian orang Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam peperangan internal mereka. Perompak-perompak ini juga menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Perahu tradisional Bugis-Makassar “Phinisi”
SERDADU BAYARAN
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan, orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran.
Sebelum terjadinya konflik terbuka, orang-orang Bugis adalah salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.
Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
BUGIS PERANTAUAN
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas dan wilayah perantauan mereka pun hingga ke Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah area pemukiman yang bernama Maccassar, sebagai tanda bagi penduduk setempat untuk mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
PENYEBAB MERANTAU
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik antara sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis yang bermigrasi, terutama bagi mereka yang bermukim di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
BUGIS DI KALIMANTAN TIMUR
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaya, tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Diantara mereka ada yang hijrah ke pulau-pulau lain seperti ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian dengan Raja Kutai, rombongan tersebut diberikan lokasi disekitar kampung Melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Namun sesuai perjanjian, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Semua rombongan Lamohang Daeng Mangkona memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili Seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah tersebut berarus putar (berulak) dan terdapat banyak kotoran sungai.
BUGIS DI SUMATERA DAN SEMENANJUNG MALAYSIA
Setelah VOC menguasai kerajaan Gowa dipertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang sebelumnya menduduki jabatan di kerajaan Gowa, bersama dengan orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disana mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar