Senin, 10 Desember 2012

Sidratul Muntaha (Sidrah Al-Muntahā)


Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain (QS 53:13),
(yaitu) di Sidratul Muntaha (QS 53:14).
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (QS 53:15)
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (QS 53:16)
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS 53:17)
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS 53:18)

Dalam mi’rajnya ke langit, Nabi Muhammad SAW sampai di suatu tempat dimana dilihatnya Sidratul Muntaha (Sidrah Al-Muntahā) yang dilingkupi oleh “sesuatu”. Beberapa literatur Isra & Mi’raj menginformasikan bahwa pada saat itu Nabi SAW melihat suatu pohon yang sangat besar dan diceritakan memiliki daun seperti telinga gajah yang mampu menampung banyak manusia [157]. Jadi, dalam pengertian beberapa riwayat Sidratul Muntaha dikiaskan sebagai suatu pohon yaitu Pohon Sidrath (dalam versi al Qur’an bahasa Inggris disebut sebagai Lote Tree). Dalam Shahih Muslim disebutkan,


“Kemudian Jibril membawaku ke Sidrah Al-Muntahā (QS 53:14), mendapatkan “sebatang pohon” yang daunnya seperti telinga gajah, dan buahnya sebesar kendi. Setiap kali ia “tertutup” dengan Kehendak Allah, “ia berubah” sehingga tidak satupun makhluk Allah yang sanggup mengungkapkan keindahannya, Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan (QS 53:10)”
Menurut uraian Syekh Najmuddin Al –Ghaithiy [157], Sidratul Muntaha adalah tingkat langit ke delapan yakni sesudah langit ke tujuh dimana terdapat Al-Bait Al-Ma’mur. Lebih lanjut dikatakannya bahwa,

“Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa di dekat Sidratul Muntaha terdapat Al-Kursi yang terbuat dari mutiara putih cemerlang indah. Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon yang buahnya seperti gentong orang Hajar. Menurut riwayat, kata “seperti” bukanlah mengenai besarnya, tetapi dalam hal bentuknya seperti gentong. Adapun tentang besarnya tidak disebutkan. Demikian pula tentang daunnya, dikatakan seperti “kuping gajah”, tentulah ini bukan besarnya. Jika besarnya sekuping gajah, tentulah tidak mungkin bila selembar daun saja dapat menaungi seluruh umat Nabi Muhammad Rasulullah SAW apalagi seluruh makhluk semesta alam ini.”

Penjelasan Syeik Najmuddin diatas mendeskripsikan secara fisikal bahwa ukuran Sidratul Muntaha tidak terbayangkan, namun bentuknya masih bisa digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga dikatakan buahnya seperti gentong atau kendi, dan daunnya seperti telinga gajah. Pendek kata, karena sulitnya menggambarkan Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW sulit sekali menggambarkannya secara verbal sehingga apa yang dilihatnya lebih banyak dikiaskan dengan tingkat pengetahuan yang ada di zaman Nabi.

Dalam pemahaman masyarakat saat itu, bentuk bulat bola atau menyerupai bulat dikatakannya seperti “kendi” atau “gentong” tempat air dan bentuk “sangat luas dan lebar melengkung” dikatakannya seperti “telinga gajah”. Akhirnya, karena kedahsyatan dan keindahan Sidratul Muntaha, banyak ulama yang kemudian menafsirkan Sidratul Muntahasebagai suatu kiasan atau metafora yang dikaitkan dengan pencapaian spiritual tertinggi. Beberapa pendapat malah menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai suatu kondisi ruhaniah yang sangat membebaskan dimana berbagai beban berat seperti musnah [53,82]. Secara harfiah, Sidratul Muntaha dapat diterjemahkan sebagai Bunga Teratai atau Bunga Lotus yang tumbuh menjulang di suatu tempat tanpa tapal batas[82]. Semua kesimpulan diatas, benar adanya selama tidak ada pemahaman yang menyimpang dan menduakan-Nya, bukankah menurut sabda Nabi SAW “Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya?” (lha gimana wong yang ngrasain Isra & Mi’raj saat itu cuma Nabi SAW seorang jadi kita wajib mengimaninya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq).

Sahl al-Tustari menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai pohon dimana batas-batas pengetahuan semua manusia berakhir [128]. Sahl melanjutkan,

“Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, ini berarti bahwa Sidrah Nur Muhammad SAW dalam pengabdiannya, seperti anai-anai emas al-Haqq mengirimnya keluar sebagai mukjizat dari sirr-Nya. Semuanya mengabdi untuk memperbesar dukungan baginya ketika dia dipenuhi mawarid (yang mendekat).”

Dalam penafsirannya, Sahl al-Tustari memang menafsirkan makna tersembunyi QS 53:13-17 yang secara langsung sebenarnya menginformasikan kondisi ruhaniah Nabi Muhammad SAW pada saat beliau mengalami Isra & Mi’raj. Yang menarik, penafsiran Sahl al-Tustari dikaitkan dengan penciptaan semua makhluk, sehingga untuk menegaskan Sidratul Muntaha dia menjelaskan pengertian QS 53:13 dengan berkata,

“Ini maknanya padanya ketika Allah Azza wa Jalla menciptakannya sebagai cahaya dalam bentuk tiang cahaya (nūran fi ‘amūd al-nūr), ribuan tahun sebelum penciptaan makhluk, dengan tashrīf iman yang menyingkapkan rahasia melalui rahasia. Dia berdiri dihadapan-Nya dengan penghambaan.”

Selanjutnya, untuk QS 15:17, ia menjelaskan kondisi fana Nabi Muhammad SAW dengan berkata

“Dia tidak cenderung kepada tanda-tanda dari dirinya sendiri. Malahan dia menyaksikan melalui keuniversalan Tuhannya Yang Maha Tinggi, menyaksikan sifat-sifat yang dimanifestasikan kepadanya dan yang membutuhkan konsistensi (keistiqamahan) dalam tahapan tersebut.”

Selanjutnya Sahl menguraikan QS 53:18 sebagai penegasan peran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir yang menyempurnakan risalah kenabian dan kerasulan, juga menyempurnakan hakikat manusia untuk menuju akhlak mulia yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Pernyataan ini, menurut Sahl, merujuk pada sifat-sifat yang tampak dari ayat-ayat-Nya. Dia melihat mereka, tetapi ketika melihat mereka, dia tidak dapat melepaskan objek persaksiannya dan tidak terputus dari kedekatan dengan obyek penyembahannya. Penglihatan tersebut hanya bertambah dalam cinta, kerinduan, dan kekuatan. Allah memberinya kekuatan untuk memikul tajalli dan iluminasi sublim. Hal itu merupakan anugerah khusus untuknya diatas seluruh nabi lainnya. Tidakkah engkau melihat bagaimana Musa a.s. jatuh pada manifestasi tersebut? Dalam pengalaman ganda intensitas tersebut, Nabi SAW menerobos batas psikologisnya dalam penyaksian yang berhadap-hadapan dengan tatapan hatinya. Dia berpegang teguh kepada kekuatan ahwal-nya (kondisi ruhaniahnya) serta kemuliaan tingkat maqam-nya (peringkat ruhaninya)[128].

Dalam ayat-ayat sebelumnya, QS 53:8-12, Nabi Muhammad SAW memiliki tingkat keadaan yang menjadi dekat dan lebih dekat lagi sehingga jaraknya sejauh dua busur anak panah bahkan lebih dekat lagi (QS 53:9). Dengan kedekatan yang saling berhadap-hadapan itu, maka respon hatinyapun tidak pernah lepas dari apa yang disaksikannya sebagai persaksian antara Tuhannya dengan ilmu dalam hatinya “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS 53:11)”. “Maka apakah kamu membantahnya atas apa yang telah dilihatnya (QS 53:12)”, yaitu dari kita dan melalui kita (yaitu tuhan merujuk kepada Diri-Nya Sendiri). Ayat ini menegaskan kembali kondisi fana yang dialami Nabi SAW dimana ia masih bisa mencerap suatu citarasa ruhaniah dihadapan Tuhannya yang terwakili oleh Tauhid Allah oleh Allah “Laa Huwa illaa Huwa (dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya”.

Jadi, kondisi yang dialami Nabi SAW adalah suatu kesadaran ilahiah tertinggi, dimana ia merasa kediriannya menjadi kedirian Tuhan, namun dengan kedekatan yang masih berjarak (QS 53:8-9). Apa yang dia lihat dari diri kita dan melalui kita lebih baik daripada apa yang dia lihat melalui dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa kondisi ruhaniah Nabi SAW seperti berada di ambang medan rahasia Sirr Al Asrar , ia berada diambang akhir dari singularitas mutlak, alam jabarut terakhir yang mendekati Kegaiban Mutlak Dzat Allah. Dan diambang Kegaiban Mutlak, dihadapan Dzat Allah SWT, maka sebagai makhluk, Nabi Muhammad SAW dikuatkan oleh cahaya awal mula dirinya yaitu unifikasi “Nur Muhammad danRahmaatan Lil Aalamin” dalam lingkupan rahmat dan kasih sayang “Basmalah” dan menjadi cermin langsung Rabb Al-Aalamin.

Pengertian “Nabi Muhammad SAW dan Nur Muhammad/ Rahmaatan Lil Aalamin” sebagai sesuatu yang tidak terbedakan diungkapkan Ibnu Arabi dalam risalah Syajaratul Kaun. Dikatakannya bahwa pengertian jarak dalam ayat diatas sebenarnya tidak menunjukkan jarak tempuh atau dalam ukuran ruang dan waktu dimensional, oleh karena itu tidak dapat ditanyakan “dimana” dalam suatu lingkup tertentu. Dalam risalah Syajaratul Kaun, Ibnu Arabi menegaskan bahwa ayat diatas (QS 53:9) menegaskan bahwa Tuhan tidak memiliki dimensi ruang dan waktu karena adanya penegasan bahwa firman “atau lebih dekat lagi” meniadakan dimensi ruang dan waktu. Jadi, Nabi Muhammad SAW bersamanya tanpa dimensi ruang dan waktu, tidak sekarang, dan tidak pula dalam alam tertentu. Dalam pengertian demikian, maka alam semesta yang dipandang oleh Nabi SAW hakikatnya akan merupakan suatu zarah, sebuah titik, atau biji yang tumbuh dan mengembang, yang terpahami sebagai suatu pohon kejadian, suatu alam semesta yang berproses sejak cetusan “Kun Fa Yakuun” dari awal mula sampai akhir zaman; dari Dentuman Besar sampai Kerkahan Besar.
Beliau menggambarkannya kemudian sebagai Sidratul Muntaha yang mengembang dan menguncup. Atau sebagai suatu Bunga Sidrath.
Taman Bunga Cinta Kasih Ilahi

Kalau kita perluas lagi makna Sidratul Muntaha dikaitkan dengan penglihatan “Nabi SAW dan Nur Muhammad” sebagai suatu yang tidak terbedakan, maka kondisi ruhaniah Nabi SAW bisa dikatakan dalam keadaan dimana ruang dan waktu terpisah dengan kesadaran. Secara fisikal, bila kita gambarkan dengan struktur cakrawala kealaman maka keberadaan Nabi SAW berada di alam malakut tertinggi yakni batas akhir alam nyata. Pada kondisi demikian, dimungkinkan secara nyata bahwa apa yang dilihat Nabi SAW adalah suatu keadaan dimana pengertian ruang-waktu sama sekali tidak berarti, citarasa meluas dalam arti masa lalu, kini dan nanti tidak berarti, Nabi SAW melihat bagaimana alam semesta diciptakan dari awal mula dan dimusnahkan di akhir zaman.
Pengertian demikian dapat kita telaah dari konsepsi ruang-waktu yang terpahami secara teoritis sebagai suatu kondisi psikologis, dimana masa lalu, masa kini, dan masa depan sebenarnya hanya muncul dari kelekatan kesadaran psikologis kita dengan cerapan hasil kognisi dan persepsi inderawi normal manusia yaitu mata, telinga, hidung, kulit dan lain sebagainya, yang selama ini kita pahami sebagai kontinuum ruang-waktu. Ketika kesadaran diri kita bebas dari ikatan ruang-waktu, yang dimaksud adalah sistem inderawi normal kita sebenarnya nyaris tak berguna. Sehingga pengertian di batas-batas dimana masa lalu, kini, dan nanti tidak ada; yang bekerja adalah instrumen ruhaniah kita yang lebih halus yaitu qolbu. Dalam hal ini qolbu yang kondisi ruhaniahnya termurnikan ke kondisi awal mula sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad dan menjadi sistem qolbu (nafs, akal, ruh). Jadi kondisi qolbu saat mi’raj terjadi berada dalam lingkaran paling dalam yaitu Sirr Al Asrar, suatu tempat yang dalam pengertian sufistik menjadi sangat rahasia dimana hanya hamba dan Tuhannya saja yang tahu. Pada kondisi demikianlah, kehendak Allah SWT mengada secara mandiri dalam diri sang penyaksi (Nabi SAW). Oleh karena kehendak Allah SWT adalah manifestasi nyata dari “Bismillahirrahmaanirrahiim”, yang tidak lain adalah limpahan rahmat dan kasih sayang atau cinta Allah kepada semua

makhluk-Nya, maka simbolisme yang muncul secara otomatis pada keadaan mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah ungkapan citarasa cinta yaitu suatu Bunga. Bunga tanda cinta kasih dari kekasih untuk Kekasih Sejati yaitu Allah SWT. Dan gambaran demikian dipilihkan oleh Allah SWT untuk Nabi SAW sebagai simbolisme bagaimana Dia menciptakan semua makhluk sebagai maujud rahmat dan kasih sayang-Nya semata, cinta-Nya semata. Inilah Perbendaharan Tersembunyi itu. Dan dengan mi’raj, maka maka makhluk dapat mengenal Diri-Nya hanya dari Diri-Nya semata sebagai Kekasih, atau dalam hadis qudsi dikatakan-Nya “…denganKu mereka (makhluk) mengenalKu”, atau dengan “Laa Huwa illaa Huwa (dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya”, yang identik dengan , “Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (QS 7:172). Gambar 22 mengilustrasikan musyahadah Nabi Muhammad SAW ketika mi’raj dalam posisi di Qabaa Qausaini.

Dengan simbolisme sebagai suatu Bunga Sidrath sebagai manifestasi “Bismillahir rahmaanir rahiim”, maka Asma ar-Rahmaan dan ar-Rahiim-Nya terkonfirmasikan dari zona Wahidiyyah (Penampakkan Pertama) yang semula tidak tercerap inderawi, baik inderawi jasmaniah maupun ruhaniah. Kemudian dengan proses tumbuh menguncup dan mengembang dan menguncup kembali maka semua makhluk muncul, tumbuh berkembang dan kemudian kembali pada-Nya. Hanya dengan Allah (Billah) semata semua ruh, jasad, dan gerak bisa mengada, dan bukan semata dengan diri mereka sendiri. Namun proses penciptaan-Nya adalah suatu proses cinta-Nya kepada semua makhluk, cinta dan kasih-Nya dalam Ar-Rahmaan dan pertolongan dan bantuan-Nya dalam ar-Rahiim. Maka sebuah titik yang mewujud dari huruf Bā ﺏ dalam Basmalah terkonfirmasikan setelah kehendak-Nya (al-Iradah) tercetuskan dengan “kun fa yakuun” (QS 36:82) sebagai pertolongan-Nya, al-Iradah & al-Qudrah-Nya mewujud menjadi proses yang merepresentasikan bagaimana alam semesta dari sebuah zarah tanpa massa, dari titik dibawah Bā disinari oleh cahaya kemegahan-Nya sebagai Cahaya Diatas Cahaya (QS 24:35). Melalui pelita ar-Rahmaan dan ar-Rahiim Hakikat Muhammadiyyah menyemburat sebagai makhluk awal mula yang langsung bersujud 34 kali dan menauhidkan-Nya. Makhluk pertama adalah unifikasi “Rahmaatan Lil Aalamin dan Nur Muhammad” yang kemudian mengembang dan tumbuh sebagai suatu alam semesta (al-Aalamin), dan juga menjadi semua makhluk mulai dari tatanan dunia kuantum sampai alam semesta global, dengan tujuh hirarki kealaman, lingkaran kesempurnaan, dan semua itu menunjukkan bagaimana makhluk eksis dari sebuah benih cinta lantas tumbuh menjadi Bunga Sidrath sebagai simbolisme alam semesta global.


Duhai, Kekasih

inikah Taman Bunga Cinta Kasih-Mu

Sidratul Muntaha

kulihat Bunga Sidrath Sang Nabi tumbuh disini

berseri dengan kelopak yang mekar mengembang dan mewangi,

dipangkalnya kulihat kemilau mutiara putih mengelilingi.

Bunga yang lain kulihat semarak dan semerbak disekitarnya

Maka kutanamkan saja benih-benih bunga cintaku padaMu disini

di Taman Bunga Cinta Kasih Ilahi



Bunga adalah simbolisme untuk cinta, dan semua makhluk adalah representasi dari rahmat dan cinta-Nya, representasi dari perbendaharaan-Nya yang tersembunyi, sehingga dikatakan bahwa satu asma-Nya berupa rahmat ditebarkan-Nya untuk semua makhluk. Sehingga seekor binatang pun mesti berhati-hati ketika melangkah melalui anak-anaknya, karena adanya cinta di sang induk terhadap anak-anaknya. Rasulullah menggambarkan hal ini dalam sabdanya,



“Allah SWT menjadikan rahmat seratus bagian.

Dia menyimpan disisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian

Dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian.

Satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk.

Begitu meratanya, sampai-sampai satu bagian yang dibagikan itu diperoleh pula oleh seekor binatang yang mengangkat kakinya

Karena dorongan kasih sayang,

Khawatir jangan sampai menginjak anaknya.” (H.R. Muslim)


Dalam pandangan yang simbolis tersebut, tercitra juga Kemahaagungan dan Kemahaindahan dari Allah SWT yang mempunyai limpahan Rahmat dan Kasih Sayang, Maha Pemurah yang memberikan anugerah dan hidayah, ampunan dan tobat, Maha Pemberi, Maha Memelihara, Maha Mendidik, Mandiri, kepada semua makhluk. Semuanya menunjuk pada Kemahagungan dan Kemahindahan Cinta Allah kepada semua makhluk-Nya tanpa kecuali. Bunga Sidrath hanya dapat yang tumbuh dari tangan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim Allah SWT sehingga dengan “Basmalah” Allah menciptakan semua makhluk adalah simbolisme limpahan Cinta dan Pertolongan, simbolisme Kemahalembutan, Kemaha Agungan dan Kemahaindahan Allah SWT. Demikianlah kesimpulan saya dengan citarasa dzauqiah mengenai Sidratul Muntaha.

Dalam kondisi penyaksian yang luar biasa tersebut, Nabi Muhammad SAW melihat dengan esensi dirinya yang awal mula diciptakan yaitu sebagai “Rahmaatan Lil Aalamin dan Nur Muhammad”. Dan dengan unifikasi keduanya maka Allah telah memperkuat Nabi SAW dengan pemahaman yang utuh dan universal. Nabi Muhammad SAW dalam penyaksian demikian bisa dikatakan berada di luar ruang-waktu yang terpahami oleh manusia umumnya, sehingga baginya “Awal dan Akhir”, “Dhahir dan Bathin”, “Rahmaatan Lil Aalamin, Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW sebagai Abdullah hamba Allah”, “jasmani dan ruhani” tidak terbedakan. Akan tetapi, dia tetaplah makhluk karena dia melihat dengan cahaya awal
mula yang menjadi instrumen penyaksian dan penyingkapan-Nya yaitu qolbunya yang menjadi termurnikan sebagai makhluk pertama yang menauhidkan-Nya dan memberikan rahmat bagi semua alam dan makhluk, sehingga tercitralah Kemahagungan dan Kemahaindahan Allah SWT sebagai suatu Bunga Sidrath nan elok, yang tumbuh di suatu tempat tanpa tapal batas yang jelas, di hamparan samudera tanpa warna, yang menjelaskan bagaimana Perbendaharaan Allah Yang Tersembunyi yaitu “Rahmat dan Kasih Sayang” maujud sebagai semua makhluk ciptaan-Nya, wahana dan sarana untuk mengenal dan kembali pada-Nya.

Dalam banyak aspek, pengalaman ruhaniah mi’raj dapat dilakukan oleh semua umat Islam dengan keistiqamahan dan keikhlasan, ridha dan ridha-Nya. Bukankah shalat adalah oleh-oleh Rasulullah SAW untuk umatnya agar bisa merasakan seperti apa yang dialaminya? Saya cuma bisa mengungkapkan untuk Anda,


Maka,

capailah puncak-puncak kesadaran dirimu

sebagai makhluk yang berpikir dan

menuhankan Allah, sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan shalat, satu pintu langit terbuka menjulurkan tangga mi’raj,

dengan dzikir, pintu kedua terbuka,

dengan istiqamah

semua malaikat berteriak kepada semua penjaga cakrawala semesta.

Dengan keikhlasan dan ridha,

pintu-pintu tujuh cakrawala semesta terbuka.

Ketika cintamu dan cinta-Nya menyelubungimu,

siapkan dirimu untuk menemui-Nya di Taman Bunga Cinta Kasih-Nya,

Sidratul Muntaha

Engkau akan lihat disana

Kemahaagungan dan Kamahaindahan-Nya

Engkau akan tersungkur

dengan banjir airmata sukacita,

rindu dan cinta, takut dan harap, akan menyelubungimu.

Ketika Dia membisikkan “Apakah yang engkau inginkan kekasih?”

Teriakkan dengan kencang dari relung qolbumu, “MenemuiMu…..”

Setelah itu, engkau dan Dia pun membisu.

Tenggelam dalam asyik masyuk keabadian cinta-Nya.


Pengalaman ruhaniah di Sidratul Muntaha tidak mesti berupa Bunga Sidrath. Oleh karena Bunga Sidrath hanya dinisbahkan kepada nabi SAW sebagai yang dipilihkan oleh Allah sesuai dengan keadaan ruhaninya. Karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya, seperti disebutkan pada sabda Nabi SAW, maka bunga yang muncul berbeda-beda dari satu pelaku suluk atau pejalan ruhani ke pelaku suluk lainnya. Yang jelas, pengalaman ruhani di Sidratul Muntaha sebenarnya menginformasikan tentang penciptaan semua makhluk dari mulai zarah sampai menjadi alam semesta. Jadi, kalau saya simpulkan secara umum, Sidratul Muntaha yang merepresentasikan “Kun Fa Yakuun” dan “Basmalah” adalah suatu “Taman Bunga Cinta Kasih Ilahi”, tempat pertemuan atau rendezvous antara yang menjadi kekasih dan Yang Memberikan Kasih, antara pecinta dan Yang Melimpahkan Cinta, sebelum menemui-Nya dengan penyaksian dan penyingkapan-Nya. Sidratul Muntaha sebagai Taman Bunga Cinta Kasih Ilahi adalah suatu tempat tanpa tapal batas, menunjukkan bahwa apa yang sudah dilimpahkan Allah SWT, tak akan mampu dibalas oleh semua makhluk-Nya sekalipun dikumpulkan secara berbarengan. Sehingga pengalaman ruhaniah mi’raj tidak lebih dari suatu anugerah dan hidayah bagi makhluk yang dicintai-Nya atas kehendak-Nya semata.


Jadilah!

Maka menjadilah engkau

Menjelajahi cakrawala semesta,

menembus batas-batas makna.

Ruang-waktu telah kau tinggalkan

maka Qolbumu adalah Arasy-Nya,

ia adalah wahana untuk mencapai-Nya

Maka cintailah Dia, tauhidkanlah Dia

Setulus-tulusnya

Sebab hanya dengan ketulus ikhlasan tanpa batas

ridha-Nya menghampirimu,

membawa kehendak-Nya menemui-Nya

Di Taman Bunga Cinta Kasih-Nya.


Didalam literatur-literatur sufistik, deskripsi tentang Sidratul Muntaha sejauh ini memang masih dipahami sebagai suatu kiasan untuk menggambarkan kondisi spiritual yang memang secara verbal sulit digambarkan.
Diambil dari Risalah Mawasdiri "Kun Fa Yakuun: Mengenal Diri, Mengenal Ilahi",

Tidak ada komentar:

Posting Komentar